TIMES BULUNGAN, MALANG – Annual International Conference on Islamic Studies/AICIS) yang ke-23 kali ini dihelat di UIN Walisongo Semarang dari tanggal 1-4 Februari 2024. Tema yang diusung adalah Redefining the Roles of Religion in Addresing Human Crisis: Encouting Peace, Justice and Human Right Issues. Bagaimana memaknai ulang pesan agama dan memerankannya di kancah global, termasuk mengatasi krisis kemanusiaan universal seperti kejahatan perang dan genosida?
Umat beragama memiliki tuntunan kitab suci dan sejumlah doktrin untuk membangun relasi dengan Tuhan, manusia dan alam semesta dengan baik dan seimbang agar tercipta suasana yang harmonis dan damai. Islam, sesuai dengan nama yang diberikan oleh Tuhan, adalah agama perdamaian dan keselamatan. Belum dianggap ber-islam jika masih belum dapat menciptakan kedamaian dan keselamatan, baik selamat di dunia maupun di akhirat.
Maka ber-islam artinya membangun relasi etis secara vertikal maupun horizontal dengan baik dan berimbang, karena orang beragama memiliki tiga dimensi relasional, yaitu pertama, relasi manusia dengan Tuhannya yang secara vertikal dilakukan melalui ibadah mahdhah atau arkān al-lslām yang lima (syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji); kedua, relasi manusia dengan sesama manusia yang dilakukan dengan berbuat baik dan berprilaku terpuji seperti jujur, amanah, adil, tanggungjawab, toleran dan seterusnya; ketiga, relasi manusia dengan alam semesta yang dilakukan dengan merawat dan menjaga kelestarian alam dan eko sistem, termasuk merawat lingkungan darat, laut maupun udara.
Konsep di atas terinspirasi oleh perintah Tuhan dalam surat al-Qashas: 77 yang dapat dijelaskan maknanya secara ilmiah. Ayat tersebut mengandung teori besar (grand theory) tentang Tuhan (teologis), manusia (sosiologis), dan alam semesta (kosmologis). Secara teologis, manusia diperintahkan oleh Tuhan untuk beribadah kepada-Nya, dan pada saat yang sama juga harus mencari kehidupan (bekerja) di dunia. Antara ibadah (spiritual) dan bekerja (material) merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, ibarat dua sisi mata uang. Demikian juga manusia tercipta dari dua entitas jasmani dan ruhani yang mesti dipenuhi kebutuhan keduanya, itulah keseimbangan hidup.
Secara sosiologis manusia harus berbuat baik kepada sesama manusia, melintas batas sektarianisme dan primordialisme. Apapun sekte, suku dan agamanya harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi. Tidak boleh saling membenci, menghujat dan melakukan tindakan kekerasan dan intoleransi. Kemudian secara kosmologis, manusia harus mendayagunakan alam seisinya untuk kemaslahatan umat dan tidak boleh melakukan eksploitasi seperti illegal logging, illegal fishing, illegal mining dan seterusnya yang mengakibatkan rusaknya alam dan lingkungannya.
Jika manusia mentaati perintah Tuhan di atas dan konsisten menegakkan tiga dimensi relasional tersebut, maka harmoni dunia akan terjaga dan akan tenteram selamanya. Itulah surga dunia, sebuah miniatur surga di kelak kemudian yang semua orang beriman mendambakannya. Oleh sebab itu membangun “surga” di sini adalah sebuah tuntutan, yaitu membangun keamanan dan kedamaian dunia dengan menegakkan prinsip kehidupan yang ballance, baik kepada Tuhan, sesama manusia maupun kepada lingkungan alam secara keseluruhan.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka negara akan menjadi gemah ripah loh jinawe (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Untuk mencapai baldah thayyibah tersebut, maka harus dimulai dari qoryah thayyibah (kampung yang baik) dengan indikasi aman, tenteram dan makmur warganya, dan untuk mencapai kampung yang baik, maka harus dimulai dari keluarga yang baik (zurriyah thayyibah) dengan indikasi tenteram (sakinah), penuh cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Inilah yang disebut dengan tri pusat pendidikan kewarganegaraan (zurriyah thayyibah, qoryah thayyibah dan baldah thayyibah).
Bahwa kemakmuran dan kesejahteraan sosial berbanding lurus dengan perilaku warga bangsa atau SDM yang memiliki kekuatan ortodoksi (iman) dan ortopraksis (takwa), dan sebaliknya kerusakan alam dan lingkungan hidup karena distruksi dan dishuman yang dilakukan oleh manusia. Dalam konteks ini Tuhan menegaskan, bahwa kerusakan alam (baik darat maupun laut) terjadi karena ulah manusia. Dalam QS. al-Rüm: 41dinyatakan: ”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah manusia”. Dalam surah al-Qashas 59 juga ditegaskan bahwa Tuhan tidak akan menghancurkan suatu negara kecuali penduduknya berbuat aniaya (zalim). Demikian juga dalam konteks yang sama disebutkan dalam surah al-A’raf: 96.
Islam Agama Firah
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan hukum alam (sunnatullah). Disebut Islam, karena agama ini mengajarkan tata cara hidup yang sesuai dengan fitrah dan ritme sunnatullah untuk memperoleh kehidupan yang damai di dunia maupun di akhirat. Ber-islam artinya menjadi orang yang selalu mencintai ketenteraman dan kedamaian. Masyarakat islami dengan demikian adalah, masyarakat yang mencintai kedamaian, ketenteraman dan kesejahteraan baik secara individu maupun kolektif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kebalikan orang Islam adalah orang kafir, yaitu orang yang mengingkari dan melawan sunnatullah dan fitrah kemanusiaan, tidak mencintai kedamaian dan ketenteraman, melawan kebenaran dan para utusan Tuhan. Dan orang yang melwan sunnatullah pasti binasa. Ini terbukti secara empirik dalam sejarah kemanusiaan, misalnya yang dialami oleh kaum Nabi Nuh. Pada masa itu seluruh penduduk bumi ditenggelamkan oleh banjir sampai ketinggian airnya mencapai puncak gunung. Pada waktu itu tidak ada yang selamat kecuali para pengikut Nabi Nuh yang turut menumpang kapalnya. Kisah ini direkam dalam Al-Qur'an surat Al-Furqan: 37.
Dalam kisah kaum Nabi Hud, yaitu kaum 'Ad, mereka diterpa oleh badai yang amat dahsyat selama tujuh hari, mereka bergelimpangan bak pohon kurma yang lapuk bertumbangan. Ternak, sawah-ladang dan seluruh pemukiman hancur lantak dibinasakan oleh badai tersebut, sebagaimana yang direkam dalam al-Qur'an surat Hud: 59.
Demikian juga pada kisah kaum Tsamud pada zaman Nabi Shalih. Mereka disambar petir dan guntur hingga menyebabkan mereka mati secara mengenaskan (diceritakan dalam QS. As-Syams: 11). Kaum Nabi Luth dihujani batu dengan sebab yang sama, yaitu mereka mendustakan para Rasul Allah, (dikisahkan dalam QS. As-Syuara':160-161). Demikian pula kaum Nabi Syu'eb dan Nabi Musa yang diazab Tuhan karena mereka berbuat zalim, mengingkari dan melawan kebenaran. Dan masih banyak lagi kisah kehancuran yang dialami oleh kaum-kaum zaman dulu yang memusuhi para utusan Tuhan dan melawan kebenaran yang datang dari-Nya.
Reorientasi Pemahaman Agama
Jika ditinjau dari perspektif historis, kekerasan dan intoleransi yang terjadi selama ini justru sering dilakukan oleh pemeluk agama-agama monoteis. Pertanyaannya adalah, kenapa pemeluk agama monoteis (baik Yahudi, Kristen maupun Islam) justru inheren dengan intoleransi dan kekerasan? Jawabnya menurut Rodney Stark (2003:171-173), karena adanya claim yang partikularistik-subjektif, yang memandang rendah agama lain. Hal senada juga dikatakan oleh John Hick (1985:46), bahkan Hick menyebut semua agama memiliki kecenderungan yang sama (partikularistik-subjektif ).
Di sinilah perlunya memahami ajaran agama secara benar dan tepat. Ajaran agama mesti dipahami secara benar dan digali makna substansinya. Isu-isu kontemporer mengenai demokrasi, keadilan, HAM, lingkungan dan segala macam jenis pemihakan masyarakat seharusnya dijadikan indikator keberhasilan dakwah agama. Karena dimensi agama tidak hanya bersifat teosentris, melainkan juga sarat dengan dimensi sosiologis dan kosmologis. Agama diturunkan oleh Tuhan untuk manusia, sementara manusia tidak bisa lepas dari ketergantungannya kepada manusia lain atau alam makro secara keseluruhan. Di sinilah perlunya memahami tiga kesatuan relasi (three unitiy of relationship).
Bersamaan dengan ini pula, maka reorientasi pendidikan agama di sekolah bagi terciptanya kesadaran sosial adalah sangat mendesak untuk dilakukan. Dari kajian ini pula sepintas kita telah memahami di mana letak kelebihan dan kekurangan model pendidikan agama yang diberlakukan di lembaga pendidikan agama selama ini. Perlu ada penelitian lebih lanjut terhadap pesan-pesan materi yang tertuang dalam buku ajar yang merumuskan persoalan elementer kemanusiaan.
Persoalan di atas mesti segera dicarikan jalan keluarnya, sehingga doktrin-doktrin agama menjadi semakin bermakna bagi terciptanya kehidupan yang harmonis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan kata lain, agama yang dipentingkan bukan yang normatif-verbalistik, namun yang lebih penting dari itu adalah ruh, semangat dan pesan penting dari agama itu sendiri, yaitu tegaknya moralitas dan kasih sayang. Karena dengan pendidikan model terakhir ini diharapkan anak didik akan menjadi manusia yang memiliki kepribadian ideal: toleran, empati dan simpati, jujur, adil, jauh dari ekstremisme, kekerasan dan konflik sosial. Orientasi pendidikan semacam ini juga akan terlihat secara nyata ketika dihadapkan pada kompleksitas dan pluralitas agama.
Dengan demikian, maka pluralitas agama yang ada di Indonesia dapat menjadi kekuatan konstruktif-transformatif dalam model pendidikan kita. Potensi konstruktif-transformatif akan berkembang jika masing-masing komunitas agama memahami dan menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan melalui pendidikan agama dan keteladanan sikap seorang guru.
Guru seharusnya dapat di-gugu dan ditiru, semua ucapan, tindakan dan ketetapannya menjadi panutan bagi anak-anak didiknya. Reorientasi pendidikan agama sudah saatnya dimulai dari jenjang pendidikan terendah hingga perguruan tinggi dengan mengevaluasi kurikulum kita yang ada selama ini. Kurikulum kita harus memenuhi syarat sebagai kurikulum yang berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas.
Agar agama dapat membumi, maka para elit agama harus mampu menjawab tantangan-tantangan di depan yang semakin kompleks seiring dengan perubahan zaman yang semakin cepat. Sementara pluralitas agama bisa menjadi bagian khazanah bangsa jika dipahami sebagai anugerah Tuhan. Jika pluralitas agama menemukan satu wadah visi maupun misi teologis yang sama yaitu membela nilai-nilai kemanuisaan, maka agama akan mampu menjawab berbagai tantangan yang akan dihadapi baik sekarang maupun mendatang dan surga dunia akan tercipta. Semoga.
***
*) Oleh: M. Zainuddin, Profesor Sosiologi Agama, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |