TIMES BULUNGAN, MALANG – Di sudut-sudut kota Bandung, kepulan asap dari gerobak pedagang siomay menjadi pemandangan yang akrab. Potongan tahu putih, pare hijau yang pahit, kentang rebus, dan telur ayam tersaji dalam piring, siap disiram saus kacang kental yang gurih. Namun, siapa sangka, siomay yang kita kenal hari ini adalah hasil dari perjalanan panjang yang bermula jauh dari tanah Nusantara.
Jejak Awal Shaomai di Tiongkok
Sejarah siomay berakar pada budaya kuliner Tiongkok yang kaya dan beragam. Di sana, makanan ini dikenal dengan nama shaomai dalam bahasa Mandarin, siu maai dalam bahasa Kanton, dan shaomai dalam dialek Beijing. Hidangan ini pertama kali muncul pada masa Dinasti Yuan (1271–1368). Catatan sejarah menyebutkan, shaomai adalah bagian dari tradisi dim sum: sajian ringan yang biasa dinikmati bersama teh dalam ritual yum cha di wilayah Tiongkok selatan.
Pada awalnya, shaomai dibuat menggunakan daging babi cincang, jamur, dan terkadang udang. Adonan ini kemudian dibungkus dengan kulit tipis dari tepung terigu dan dikukus hingga matang. Berbeda dengan siomay versi Indonesia, di Tiongkok, shaomai cenderung berbentuk bulat kecil dengan ujung terbuka, memperlihatkan isian daging yang lezat.
Migrasi dan Adaptasi Shaomai
Perjalanan shaomai ke Indonesia tidak bisa dilepaskan dari migrasi besar-besaran orang Tionghoa ke Nusantara, khususnya pada abad ke-17. Pada masa itu, Batavia (kini Jakarta) menjadi pusat perdagangan yang ramai. Orang Tionghoa, terutama dari wilayah Fujian dan Guangdong, datang untuk berdagang rempah-rempah, gula, hingga tekstil.
Awalnya, komunitas Tionghoa di Batavia memperkenalkan berbagai masakan tradisional mereka. Salah satunya adalah shaomai. Namun, karena mayoritas penduduk pribumi menganut agama Islam yang melarang konsumsi daging babi, isian daging babi dalam shaomai diganti dengan bahan yang lebih sesuai, seperti ikan tenggiri, yang mudah ditemukan di perairan Indonesia.
Perubahan ini bukan hanya soal adaptasi bahan, tetapi juga rasa. Ikan tenggiri memberikan cita rasa yang khas, berpadu sempurna dengan bumbu kacang yang kental—bumbu yang tidak ditemukan dalam versi aslinya di Tiongkok. Kacang tanah sendiri diperkenalkan oleh pedagang Tionghoa kepada masyarakat lokal, yang kemudian diolah menjadi saus kacang untuk berbagai hidangan, termasuk siomay.
Denys Lombard, dalam buku "Nusa Jawa: Silang Budaya" (2008) menjelaskan, peran masyarakat Tionghoa berperan besar bukan hanya soal perdagangan saja. Mereka juga berperan dalam budaya kuliner dan agrikultur.
Di Batavia, mereka menanam padi, nila, kacang tanah dan tebu. Meskipun kemudian yang paling berkembang adalah tebu, namun masyarakat Tionghoa berhasil membuat warga pribumi mengenal kacang tanah dengan sebutan Katjang Tjina. Dari sini, kemudian muncul berbagai jenis kuliner dengan kacang sebagai bumbu utamanya.
Transformasi Siomay Menjadi Jajanan Khas
Seiring berjalannya waktu, siomay tidak lagi hanya menjadi bagian dari komunitas Tionghoa, melainkan bertransformasi menjadi jajanan khas Bandung. Di sinilah siomay berkembang menjadi lebih beragam dengan tambahan pare, tahu, kentang, dan telur ayam rebus. Setiap komponen ini dikukus hingga matang dan disajikan dalam piring, siap disantap bersama saus kacang yang hangat dan sedikit perasan jeruk limau.
Tidak seperti shaomai yang identik dengan dim sum, siomay Bandung memiliki bentuk yang lebih fleksibel, sering kali tidak beraturan. Rasanya pun lebih kuat karena tambahan kecap manis dan sambal yang pedas, memberikan kombinasi manis, gurih, dan pedas yang memanjakan lidah.
Siomay adalah Simbol Perpaduan Budaya
Kini, siomay bukan sekadar makanan. Ia berubah jadi simbol perpaduan budaya Tiongkok dan Indonesia. Gerobak-gerobak siomay dengan mudah ditemukan di sekolah, pasar tradisional, hingga restoran modern. Bahkan, variasi baru seperti siomay goreng dan siomay vegetarian mulai bermunculan, mengikuti tren kuliner masa kini.
Siomay adalah bukti bahwa kuliner bisa menjadi jembatan antara budaya yang berbeda. Dari shaomai di Tiongkok hingga siomay di Indonesia, hidangan ini terus beradaptasi tanpa kehilangan akar sejarahnya.
Setiap suapan siomay membawa kita kembali ke masa lalu, sekaligus mengajak kita merayakan kekayaan budaya yang hidup dan terus berkembang di negeri ini. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Dari Tiongkok ke Bandung, Perjalanan Panjang Siomay Jadi Kuliner Rakyat
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |